Selasa, 12 Agustus 2008

Umur Manusia

Saya pernah dengar cerita kuno dari Cina:

Karena kesepian, Tuhan menciptakan manusia pentama dan menganugerahinya dengan usia sepanjang tiga puluh tahun. Begitu tercipta, manusia langsung teriak kelaparan dan Tuhan pun menciptakan bungkusan mie-instant pertama. Selanjutnya Tuhan menciptakan ladang dan manusia diajarkan cara bertani. Manusia jadi sibuk mengurus sawahnya.

Baru seminggu, manusia sudah capai. Ia harus mengurus sawah, masak dan melakukan begitu banyak hal yang lain. Ia pun mengeluh, "Tuhan, Tuhan, saya perlu bantuan. Beri saya sesuatu yang dapat membantu saya di sawah". Mendengan keluhan manusia, Tuhan menciptakan kerbau pertama. Kerbau pun diberi umur 30 tahun.

Rupanya kerbau agak lebih pintar dari pada manusia. Binatang itu bertanya, "Tuhan, apa yang harus saya lakukan selama 30 tahun?" Tuhan menjawabnya bahwa ia harus membantu manusia. Kerbau menoleh ke arah manusia, "Tuhan, mohon belas kasihan-Mu. Jangan menghukum saya untuk melayani manusia selama 30 tahun. Beri saya umur sampai 10 tahun saja.

Namun karena Tuhan sudah menganggarkan 30 tahun, sekarang ada 20 tahun yang lebih. Tuhan menoleh ke arah manusia, "Maukah kau mendapatkan tambahan umur 20 tahun". Manusia memang banyak maunya. "Ya deh, boleh Tuhan". Jadi manusia mendapatkan tambahan umur kerbau 20 tahun. Sekarang usinya 50 tahun.

Beberapa minggu kemudian, manusia mulai menginginkan sesuatu lagi. Kali ini dia butuh sesuatu atau seseorang untuk jaga rumahnya. Tuhan pun menciptakan anjing pertama dan diberi umur 30 tahun juga. Anjing yang satu ini punya otak juga. Daripada melayani manusia sepanjang 30 tahun, ia merasa cukup diberi umur sampai 10 tahun saja. Dan manusia mendapatkan usia tambahan 20 tahun jatah anjing.

Selanjutnya, manusia membutuhkan binatang peliharaan untuk menemani dia di rumah. Tuhan menciptakan monyet pertama. Monyet pun cerdik. Ia menolak jadi pelayan manusia selama 30 tahun dan akhirnya manusia mendapatkan tambahan usia 20 tahun jatahnya juga.

Jadi manusia mendapatkan usia total 90 tahun. Tiga puluh tahun pertama, ia hidup sebagai manusia. Itulah jatah awalnya. Dua puluh tahun berikutnya, ia mulai sadar bahwa usianya semakin tua dan ia harus kerja keras seperti kerbau. Setelah mencapai usia 50 tahun, anak-anaknya sudah dewasa, sudah berkeluarga dan ia pun menjadi pengawal rumah seperti
anjing. Setelah usia 70 tahun, ia tinggal bercermin lihat keriput wajahnya, persis seperti monyet.

Apakah begitu saja kehidupan manusia? Lahir sebagai manusia, bekerja seperti kerbau dan akhirnya berakhir seperti anjing dan monyet? Apakah ada sesuatu yang lain dalam hidup ini? Apakah kita dapat mewarnai kehidupan kita? Apakah kita dapat memperindah sedikit kehidupan ini? Apakah kita dapat membuat kehidupan ini lebih berirama?


Dan apa pula yang menjadi keinginan utama manusia? Ketenaran? Kekayaan? Kesehatan? Bukankah semuanya itu untuk memperoleh kebahagiaan?


Rabu, 18 April 2007

Apakah Saya Hindu?

Sebelum lebih jauh membahas apakah kita sudah Hindu, harus kita batasi permasalahan apakah yang dimaksud Hindu adalah sebuah agama formal yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, ataukah Hindu sebagai way of life.

Jika yang dimaksud adalah Hindu sebagai agama formal yang diakui di NKRI ada syarat-syarat yang eksplisit yang bisa dijadikan sebagai alat ukur,
misalnya:
1. Kitab suci Weda, tempat sembahyang Pura 2. Percaya dengan Panca Sradha:
- Percaya dengan adanya Brahman
- Percaya dengan adanya Atman
- Percaya dengan adanya Karma Phala
- Percaya dengan adanya Punarbhawa (Reinkarnasi)
- Percaya dengan adanya Moksa

Dan ada mungkin ada beberapa lagi persyaratan yang diatur dalam perundang-undangan di NKRI.

Jika yang dimaksud adalah Hindu sebagai way of life, akan sulit mengukur kadar ke-Hindu-an seseorang. Mungkin sebagai ilustrasi, kita ingin tahu apakah sebuah tanaman adalah pohon mangga atau bukan.

Sementara kita punya dalil/pemahaman bahwa mangga itu daunnya berwarna hijau, pohonnya bercabang, buahnya kalo masih muda rasanya masam, kalo sudah matang rasanya manis, ada beberapa jenis, ada yang buahnya bulat, lonjong, dan ada juga yang kecil, dsb... dsb...

Suatu saat kita menemukan tunas mangga, yang tentu saja belum berbuah, dan mungkin juga belum bercabang. Kalau dilihat secara keseluruhan, tentu saja tidak menunjukkan semua ciri pohon mangga. Tapi tetap saja itu adalah mangga , pohon mangga yang masih kecil.

Sama seperti itu, saat ini kita juga sudah Hindu. Tinggal pilihan kita saja, akan tetap menjadi tunas Hindu, ataukah akan berkembang menjadi Hindu yang berkembang, berbuah lebat, berdaun rindang dan mengayomi.
Janganlah menyalahkan orang tua yang hanya bisa mengatakan sudah dari sananya seperti itu. Kita memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan yang mampu mengubah keadaan. Kalo dirasa apa yang dikatakan orang tua tidak benar seluruhnya, carilah kebenaran itu. Mungkin saat ini kita belum menjadi Hindu seperti kriteria Hindu yang ideal, tapi yakinlah kita sudah Hindu.

Saya rasa kita tidak perlu malu kalau belum bisa menerangkan agama kita secara utuh, lebih baik kita bisa melaksanakan sebagian ajaran agama yang sudah kita pahami dibandingkan dengan kita bisa menerangkan secara utuh ajaran agama kita dari A sampai Z, akan tetapi pelaksanaanya nol besar.
Jadi, tetaplah bangga menjadi Hindu.

Kalau merasa ada ajaran Hindu yang belum dimengerti, Media Hindu mempunyai banyak buku yang bisa menambah pemahaman kita tentang Hindu, tapi ingat jangan hanya berhenti pada pemahaman, harus diselaraskan juga dengan pelaksanaan.